Hujan selalu saja menimbulkan perasaan yang berbeda. Terkadang hujan membuat kita nyaman, seperti Kamis pagi itu; aku dengan nyaman menikmati hujan di jalanan kota Kairo. Tapi hujan yang tak juga berhenti membuatku merasa mulai kehilangan rasa (ny)aman; tidak bisa pergi ke mana-mana, jalanan becek dan bisa dipastikan banjir di jalanan meski tidak sampai pada tingkat bencana alam. Oh, aku lupa. Hujan seharian hari itu menimbulkan beberapa kecelakaan di luaran Kairo. Benar-benar tidak (ny)aman.
Aku jadi teringat tentang sebuah riwayat tentang sebuah hujan, pohon dan rumput. Seperti sebuah kesemestian, maka kehidupan benar-benar seperti hujan, pohon dan rumput. Kau hanya tinggal memilih; menjadi pohon atau rumput saat ada hujan.
Aku teringat dulu yang sudah lama itu, sewaktu aku berjalan di bawah rindangnya pepohonan di tepian sungai. Di sana, yang jauh dari sini itu, ada banyak pohon besar yang entah sudah berapa lama ditanam dan hidup di tengah-tengah keramaian kota itu (sugai besar itu berada di tengah-tengah kota dan membelahnya menjadi dua, atau lebih mungkin). Semakin besar, semakin tinggi dan dengan dahan, cabang, ranting serta dedaunan yang rimbun menyejukkan. Yah, sangat menyejukkan di antara gelap asap-asap kendaraan di sekitaran.
Dan di sekitar pohon-pohon besar itu, selalu ada saja rerumputan tumbuh seperti sedang bersembunyi dari terik mentari musim panas yang menyengat. Berlindung di bawah rindang dedaunan pohon-pohon besar itu. Tidak. Rerumputan yang (ternyata) juga ditanam itu tidak menganggu pemandangan sama sekali. Justru semakin membuat indah sekitaran tempat pohon tertanam.
Pohon yang semakin lama semakin tinggi itu, tentu saja semakin banyak mengalami ujian. Hujan yang deras, kilatan petir, lalu angin yang begitu kencang bisa saja membuat ia patah, jatuh lalu tersungkur ke tanah. Dan kau tahu bukan, ketika ada pohon tinggi besar yang tersungkur, bisa-bisa ia menjatuhi rumahmu, paling tidak menghalangi jalan, dan yang paling apes tentu saja merenggut nyawamu ! Itu dengan catatan; ia gagal menghadapi ujian yang pasti datang itu. Kalau ia berhasil, tentu saja ia akan tetap menyejukkanmu dan menaungimu dari terik matahari. Tentu kau masih ingat kata orang-orang yang lama sebelum kita itu kan; semakin tinggi pohon semakin kencang pula angin yang menerpa.
Lalu si rumput, sepertinya ia tenang-tenang saja dengan hujan badai yang tak tentu itu. Ia masih saja nyaman menikmati hidupnya di bawah pohon. Mungkin ia sedang berpikir; hujan deras telah dihalangi pohon terlebih dahulu sebelum menjatuhiku, angin di bawah tak mungkin sekencang di atas, lalu petir…Ia akan menyambar apa saja yang lebih tinggi. Dan itu bukan aku tentunya. Tapi sepertinya ia lupa; ia hanya berlindung, ia hanya berada di bawah. Ketika si pohon tumbang, bukan tidak mungkin si pohon akan menjatuhinya dan membuatnya mati. Bukan tidak mungkin pejalan-pejalan kaki akan menginjaknya sampai ia mati. Bukan tidak mungkin ia akan sewaktu-waktu tercerabut dari tanah dan itu dengan sangat mudah. Ia hanya berada di bawah, ia hanya berlindung.
Nah, sekarang aku tegaskan dan aku ingatkan lagi padamu. Kau yang memilih; mau menjadi seperti pohon yang menjulang tinggi besar, atau menjadi rumput yang biasa-biasa saja. Menjadi pohon artinya kau harus menjadi 'orang tidak biasa' yang mau dan mampu mengayomi sekitar dengan segala apa yang bisa kau berikan. Tetapi jangan lupa, jika kau gagal menghadapi cobaan, aku bisa pastikan kau akan begitu merepotkan sekitarmu. Atau menjadi rumput saja? Yang biasa-biasa saja, tidak banyak merepotkan tetapi juga tidak dianggap, mudah terinjak dan dengan mudah bisa tercerabut dari tanah? Semua terserah padamu saja.
Tabik.
Qatameya, 1 Maret 2010
NB: aku kira musim akan berganti menjadi panas, ternyata justru dingin tak juga mau pergi.