Akhirnya si Kancil terduduk, menyeka keringat di mukanya. Ia berpikir keras, sama sekali tak mengerti; bagaimana si Kancil yang cerdik kalah beradu lari dengan si Siput yang jalannya begitu lambat; bagaimana setiap kali ia berlari dan memanggil Siput di belakangnya, Siput selalu menjawab di depannya. Si Kancil yang cerdik, yang mampu mengalahkan buaya dan singa si raja hutan, kalah oleh Siput...? Ngaak bisa..!!! Pikir Kancil dalam hari; heran, penasaran, dengan marah yang membuncah.
Bersama teriakan keras di dalam hatinya, si Kancil segera berlari kencang, sekencang-kencangnya, sekali lagi dan lagi sampai napasnya habis terengah-engah. Lalu ia menengok ke belakang dan memanggil Siput. Siput pun menjawab, "Di sini, Cil..!!". Sekali lagi Siput sudah di depannya. Akhirnya ia sadar tak bisa mengalahkan si Siput.
Pada akhirnya, ia hanya duduk dan mengetik. Mengetik cerita tentang dirinya dan si Siput yang beradu lari. Ia mengetik kekalahannya dengan penuh kesadaran. "Agh, siapa yang begitu pandai menulis cerita ini? Cerita yang mampu mengalahkan kecerdikan dan kepandaianku...?", "Siapa ia yang mampu menyembunyikan waktu di balik Siput..?". Pikir Kancil.
Cerita-cerita jaman modern pun tak bisa membuat cerita semacam itu, manusia yang cerdik melawan waktu dengan detik-detiknya yang berjalan pelan. Akhirnya, Kancil mengaku bodoh, dan tak mau lagi bersepakat untuk berlomba melawan waktu. Ia biarkan waktu berjalan sendiri, sedang ia berlari sendiri juga.
Tidak, ia tidak mau berlomba lari lagi. Ia tak mau bertat-tet-tot di perempatan jalan supaya manusia-manusia lain juga mempercepat jalannya. Ia tak mau menyusul yang meyalipnya. Biar saja!
Ia hanya mengetik, dan mengetik keheranannya terhadap siput waktu, lambat berjalan tapi tak terkalahkan.